Hari itu adalah hari dimana aku
harus menentukan pilihanku untuk melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi
atau tidak. Jika ku kenang masa itu, rasanya tak cukup setetes air mata ini
mengalir di pipiku. Mungkin bagiku itu merupakan hari tersulit yang pernah aku
alami seumur hidupku. Bagaimana tidak, seseorang yang memiliki tanggung jawab
penuh terhadap pendidikanku tidak berada disisiku saat aku membutuhkannya.
Mungkin itu bukan faktor kesengajaan yang di lakukan oleh ayahku.
Ayahku seorang pegawai negeri sipil
yang mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sehari-hari sepulang dari dinasnya beliau melakukan aktivitas sebagai pembeli
batu bata di kampungku. Entah bagaimana akhirnya bisnis yang digelutinya itu
menjadi tak karuan sehingga membuatnya terbelit oleh hutang yang cukup banyak.
Akhirnya beliau memutuskan untuk pergi dari kampung untuk menghindar sementara
dari orang-orang yang menagih hutang.
Bisa dibayangin enggak? Bagaimana kesulitan
kami semenjak ayahku pergi meninggalkan rumah? Jangankan untuk membiayaiku
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, untuk belanja sehari-hari saja kami
semua harus bekerja keras. Aku dan adikku yang lelaki bekerja keras siang dan
malam sedangkan adik-adikku yang perempuan, mereka tiap hari harus membawakan
dagangan yang telah disiapkan oleh ibuku untuk di jual disekolah mereka.
Begitulah aktivitas yang kami
lakukan hingga saat itu tiba menghampirku dan keluarga. Awalnya aku yang
mendapatkan kesempatan untuk melihat hasil ujian nasional disekolahku. Betapa
bangganya ibuku mendengar kalau diriku mendapatkan peringkat kedua yang
memiliki nilai tertinggi di sekolahku. Setelah beberapa minggu kemudian,
giliran adik perempuanku yang paling tua untuk melihat hasil ujian nasional
untuk tingkat sekolah menengah pertama. Rasa bangga yang telah kupersembahkan
untuk ibuku menghampirinya untuk kedua kalinya.
Dari apa yang telah kuceritakan
sebelumnya, bisa dibayangin betapa besar biaya yang dibutuhkan oleh keluargaku
saat itu. Akupun bingung memikirkan apa yang harus aku lakukan. Di depan pintu
rumahku, akupun termenung memikirkan solusi untuk masalah yang sedang kami
hadapi. Tiba-tiba ibu menghampiriku dan berkata, “nak, apa yang sedang kau
pikirkan? Jika untuk masalah kuliahmu itu biar ibu bicarakan dulu dengan
pamanmu. Mungkin dia bisa membatu. Jika tidak, ibu akan menjual tanah
peninggalan kakekmu untuk meneruskan kuliahmu itu. Jadi kamu tak usah
memikirkan hal itu.” Tanpa kusadari, air mata jatuh berlinang di pipiku
mendengar perkataan ibuku itu.
Keesokan harinya ibuku pergi ke
rumah pamanku untuk meminta bantuan kepadanya. Namun apa yang terjadi, sesuatu
hal yang tak pernah terpikirkan oleh ibuku terucap dari mulut pamanku yang
memiliki tanggung jawab penuh terhadap kami jika suatu saat ayahku meninggal.
Pamanku berkata, “ saya sanggup membiayai kuliah si arie jika dia mau menanda
tangani surat perjanjian. Yang apabila dia selesai kuliah nanti, dia harus
menikahi putriku.” Tanpa memberikan jawaban apa-apa, ibuku pulang kerumah dan
menceritakan apa yang terjadi kepadaku. Aku merasa kecewa terhadap sikap
pamanku itu. Seharusnya dia tidak pantas mengeluarkan kata-kata seperti itu
untukku.
Tak terasa hari mulai gelap, akupun
mengakhiri perbincanganku dengan ibuku. Saat itu kami sekeluarga melakukan
aktivitas seperti malam-malam sebelumnya. Sehabis sholat magrib, aku dan ibuku
mengajarkan anak-anak mengaji. Kebetulan di rumahku, dibentuk sebuah kelompok
pengajian untuk anak-anak. Mulai dari yang belajar iqra’ hingga belajar membaca
Al-quran. Awalnya pengajian ini hanya dikhususkan untuk adik-adikku yang
perempuan dan beberapa anak tetangga lainnya. Namun lama kelamaan santri-santri
itu bertambah satu demi satu. Sehabis mengajarkan anak-anak mengaji, ibu selalu
bekerja membuat kue-kue untuk di jual di sekolah adik-adikku hingga larut
malam. Terkadang aku membantunya, itupun jika aku tidak kecapean karena bekerja
keras di siang harinya.
Entah mengapa malam itu aku
terbangun dari tidurku. Aku mendengarkan doa-doa yang dipanjatkan oleh ibuku
sehabis beliau melakukan sholat malam. Aku tak tahan mendengar doanya itu, air
mataku pun pecah bagaikan air bah yang membanjiri sawah-sawah. Disitu aku
mendengarkan doa seorang ibu terhadap anak-anaknya. Sungguh tak kusangka diantara
sekian banyak doa-doa yang dipanjatkannya kepada Allah hanya satu doa untuk
dirinya sendiri yakni dijauhkannya dari api neraka. Selebihnya adalah doa-doa
untuk keselamatan hingga umur panjang anak-anak dan suaminya. Sungguh takjub
saat aku mendengar rintihan seorang ibu di keheningan malam. Rasanya ingin aku
menjerit dan memeluk hingga mencium kakinya yang mulia itu. Sungguh surga itu
berada dikaki ibu.
Setelah malam itu kulewati,
pagi-pagi sekali ibu membangunkanku. Beliau menanyakan keputusanku apakah aku
mau kuliah atau tidak? Karena sebelumnya aku telah memutuskan untuk tidak
melanjutkan pendidikanku itu. Biarkan adikku saja yang melanjutkan pendidikan
ke bangku sekolah menengah atas. Ibu berkata,” bagaimana bang? Apa abang udah
yakin kalo abang tidak mau kuliah lagi? Menurut ibu, abang pergi aja dulu ke
Banda Aceh. Mana tau disana abang bisa menemui abu. No handphone bang bukari
ada kan sama abang? Kalo ada coba hubungi beliau, dan tanyakan apa abu ada
disana?.” Mendengar perkataan ibuku yang menyemangatiku untuk melanjutkan
kuliah, akupun beranjak dari rumah untuk mencari handphone yang bisa aku pinjam
untuk menelpon abang sepupuku yang di Banda Aceh. Beberapa jam kemudian aku
menemukan handphone pinjaman dari tetanggaku. Akupun menghubungi abangku.
Setelah sekian lama berbincang dengannya, akhirnya aku bisa lega ternyata
ayahku ada disana.
Hari itu juga, ibuku pergi mencari
pinjaman uang untuk biaya keberangkatanku ke Banda Aceh. Melihat semangatnya
itu, akupun ikut semangat. Aku sangat mengingat kata-katanya beberapa tahun
yang lalu. Uang bukan segalanya, jika ada kemauan pasti ada jalan.
Keesokan harinya aku bisa berangkat berkat usaha dan semangat dari ibuku.
Bagiku beliau adalah seorang pahlawan yang tak kalahnya dengan Ki Hajar
Dewantara yang berjuang demi pendidikan anak bangsa. Selain itu beliau juga
memberiku kebebasan yakni kebebasan untuk menentukan pilihan. Jika guru adalah
pahlawan tanpa tanda jasa maka bagiku ibuku adalah pahlawan yang tak sanggup
dibalas jasanya.